ASAL
MULA NAMA BEKASI
Nama Bekasi menurut
ejaan filologi Prof. Dr.Poerbatjaraka berasal dari kata CHANDRA atau SASIH
artinya bulan (sasih bahasa jawa) dan BHAGA artinya bahagian.
Dari CHANDRABHAGA
melalui kata BHAGASASI menjadi BEKASI dan ibu kota Tarumanagara menurut
pandapatnya harusnya dibekasi.
Hipothesa Prof. Dr.
Poerbatjaraka banyak yang menyangkalnya karena hipothesa tersebut bukan atas
dasar penelitian geomorphologi melainkan atas dasar filologi semata-mata.
Menurut pendapat Drs.
Soehadi dari jawatan purbakala, kata Chandrabaga pada prasasti Tugu identik
dengan Cakung alasannya ialah : kata Cakung terdiri dari kata Ca – kung, kota
ca berasal dari cai berubah menjadi ci misalnya ci-liwung,
citarum.
Kata kung (Jawa
Kuno) berarti rindu dendam, mempunyai nafsu cinta.
Dengan demikian Cakung
berarti sungai yang mengandung cinta birahi dan erat hubungannya dengan proses
kesuburan. Raja Purnawarman membuat Chandrabhaga sebagai salah satu usaha/cara
untuk melindungi rakyatnya supaya subur makmur.
Drs. Soehadi
mengidentikan Chandrabhaga dengan sungai cakung karena melihat situasi
pesawahan, kondisi dan landscape daerah Tugu serta faktor ekonomi ternyata
sungai cakung mempunyai kelebihan bila dibandingkan dengan bekasi.
Pendapat lain nama
Bekasi dari Rawa Tembaga, awal kata ten pada kata tembaga dihilangkan
lalu dibelakangnya ditambah kata si sehingga menjadi bagasi
selanjutnya disebut Bekasi. Tetapi pendapat ini belum mempunyai alasan yang
dapat dipertanggung jawabkan karena rupanya hanya berdasarkan kirata
(perkiraan) saja.
TERBENTUKNYA
WILAYAH BEKASI
Dalam sejarah
pembentukan bumi, satu sama lain tak dapat dipisahkan, begitu pula wilayah
Bekasi dalam pembentukan bumi ini tak dapat dipisahkan engan Jawa Barat
lainnya.
Pembentukan
gunung-gunung berapi, bukit-bukit serta dataran tinggi berjalan terus pada masa
akhir tertiair dengan quartiair.
Dataran-dataran rendah
bagian utara Jawa Barat pada umumnya terjadi karena endapan-endapan alluvial
dan lahar dari pengikisan lapisan vulkanis tertiair pegunungan berapi bagian
selatan.
Menurut seorang geolog
yang bernama R. W. van Bermolen menurut fisiknya daerah Jawa Barat dibagi atas
:
-
Daerah Banten
-
Daerah Batavia
(Jakarta)
-
Daerah Bogor
-
Daerah Bandung
-
Daerah pegunungan
selatan dengan bagian-bagiannya yaitu Jampang, Pengalongan, dan Karangnunggal.
Daerah yang terbentang dari Serang, Rangkasbitung, Jakarta hingga
Cirebon, merupakan dataran rendah yang terjadi karena endapan-endapan sungai
alluvial dan lahar atau lumpur dari pengikisan lapisan tertiairpegunungan
berapi dari pedalaman. Dengan demikian, daerah Bekasi termasuk pembentukan
daerah Jakarta yang terjadi pada masa quartair.
Derah Bekasi termasuk pembentukan daerah (bumi) yang masih muda bila
dibandingkan dengan daerah lain di Jawa Barat.
ZAMAN PRA SEJARAH
zaman prasejarah dibagi atas dua bagian,
yaitu:
1. zaman batu
2. zaman logam
zaman batu dibagi atas
tiga bagian, yaitu:
a. Zaman batu tua
(Paliolithicum), ciri-cirinya ialah:
-
alat yang dibuat
dari batu dikerjakan secara kasar.
-
orang-orangnya
masih nomaden (selalu berpindah-pindah tempat)
b. Zaman batu tengah
(Mesolithicum), ciri-cirinya ialah:
-
alat yang dibuat
batu masih kasar juga.
-
mata
pencahariannya berburu dan sebagian sudah bercocok tanam.
-
mereka suah
mengenal seni, hal ini terlihat dari lukisan alat-alat walaupun keadaaannya
masih kasar dan sederhana tetapi sudah mengandung seni.
c. Zaman batu muda
(Neolithicum), ciri-cirinya ialah:
-
alat-alatnya
sudah diasah halus dan lukisannya sudah indah.
-
selain tembikar,
juga mereka sudah mengenal tenunan.
-
tempat tinggal
mereka menetap.
2.1. Penemuan
Benda-Benda Bersejarah Di Kabupaten Bekasi.
1.
Di daerah Cariau(Cibarusah)telah
ditemukan alat untuk memukul kulit kayu. Kulit kayu setelah dipukul-pukul
seratnya ditenun lalu dijadikan pakaian.
2.
Di Buni wates, ditemukan
periuk yang telah berhias
3.
Di Buni Babelan
ditemukan alat-alat berupa :
-
kerang
-
periuk
-
tengkorak dan
tulang-tulang manusia
-
gelang
-
manik-manik dalam
berbagai bentuk dana warna
-
cincin alam
berbagai ukuran
-
kapak persegi
dari batu
Dengan ditemukannya periuk berisi
tulang-tulang manusia, hal ini ada hubungannya dengan soal penguburan yang
kedua kalinya dengan disertai upacara adat.
Gelang yang ditemukan bila dilihat
dari pembuatannya ada beberapa cara:
a.
Batu itu
dipukul-pukul sehingga diperoleh bentuk bulat bulat persegi, kemudian kedua
sisi yang rata itu dicekungkan, dengan dipukul-pukul pula,sampai akhirnya kedua
cekung itu bertemu lalu membentuksebuah lubang, sehingga jadilah gelang yang
dikehendaki.
b.
Batu yang bulat
gepeng digurdi dari kedua belah sisi yang rata dengan menggunakan alat
bambu,pasir dan air yang kemudian diputar. Akibat dari pergosokan itu
menyebabkan batu tersebut berlubang sehingga membentuk gelang.
Di pulau Celatik telah ditemukan periuk yang berukir.
Dari keempat tempat penemuan tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan
bahwa kebudayaan yang tertua di wilayah Bekasi berasal pada masa Batu
Muda(neolithicum).
Setelah zaman neolithicum maka datanglah zaman logam, dimana pada masa
ini orang-orang telah pandai mengolah bahan dari logam untuk dijadikan berbagai
jenis barang kebutuhan manusia, jadi kebudayaan masa ini jauh berlangsung
sampai sekarang.
Sebagai salah satu contoh terdapat di daerah Kecamatan Setu, dimana
terdapat ubaban yaitu alat yang dipakai untuk membuat benda-benda logam guna
dijadikan perhiasan-perhiasan yang dikehendaki.
Menurut keterangan penduduk setempat, cara membuat perhiasan tersebut
sudah turun-temurun. Tidak mustahil bila kebudayaan tersebut adalah kelanjutan
masa logam yang terus berkembang sampai kini tetapi coraknya pada masa kini
dimodernisir menurut selera pemakainya.
Keterangan selanjutnya menyatakan bahwa pada umumnya pembuat
barang-barang perhiasan tersebut adalah penduduk asli Bekasi, jelaslah bahwa
kebudayaan tersebut sudah lama berkembang di tempat itu dan sebagai warisan
dari kebudayaan nenek moyangnya.
Karena umur dari ubaban yang ditemukan itu sudah cukup tua ,maka
orang-orang banyak yang mengkultuskannya, sehingga pengusaha kemasan harus
mengadakan sesajen dahulu supaya diberkahi leluhurnya.Demikianlah kebudayaan tersebut masih berpengaruh besar
di kalangan masyarakat.
2.2. Pengaruh
Animisme/Dinamisme Di Bekasi.
Pada masyarakat yang kehidupannya dari bercocok tanam, kepercayaan
mereka senantiasa mendekatkan kepada roh-roh nenek moyang supaya memberikan doa
restu kepada pertaniannya.
Selain itu mereka jug masih percaya kepada kekuatan ghaib atau
benda-benda serta pohon-pohon yang dianggap keramat. Karena daerah Bekasi pada
umumnya daerah pertanian, maka
masyarakat setempat setiap akan bercocok
tanam dan sesudah panen, baik kecil maupun besar, mereka mengadakan upacara
tradisional yang dipersembahkan kepada roh nenek moyangnya atau Dewi Sri.
Sekalipun mereka telah memeluk agama Islam, tetapi tradisi lama ini
sukar dihilangkan.
Hal inidapat kita mengerti karena jauh sebelum kita didatangi penyebar
agama Islam, nenek moyang mereka telah menganut tradisi tersebut. Jadi wajarlah
apabila adat istiadat tersebut masih ada. Hal ini rupanya sudah menjadi tradisi
bangsa Indonesia paa umumnya.
ZAMAN
HINDU
BEKASI
SEBAGAI WILAYAH TARUMANEGARA
Pada pertengahan abad ke V di
Jawa Barat terdapat sebuah kerajaan yang disebut kerajaan Tarumanegara. Salah
satu bukti bahwa Bekasi masuk wilayah Tarumenagara ialah:
a.
Prasasti
Tugu.
Prasati ini terdapat di Cilincing dan ditulis dalam bahasa
Sanksekerta.Isinya berbunyi sebagai berikut:
TRANSKRIPSI PRASASTI TUGU.
(Berdasar batu D.124).
1.
Pura
rajadhirajena guruna pinabanuna khata khyatam prabaya candrabhagarnawam yayan.
2.
Pravardharmana
dvavincad vatarsara crigunaujasa narendra dvajabhutena crimata purnavarmana.
3.
Prarabaya
phalguna masa khata kresnastami tithen centra cuklatryedyasyas dinais adha ika
vincaksi(h)) ayata satsahasrena dhanusamsacatena ca dva ca dva vincena nadiranya
Comati nirmalodhaka.
4.
Pitamahasya
rajarse vvidarya cibiravanim brahmanir ggesaharsena (h) prayati krtadaksinan.
Terjemahannya : (oleh Drs .MSuhadi)
1.
Dahulu oleh
maharaja yang terhormat yang kuat lengannya ,sesudah chandrabhga sampai istana
yang termahsyur , telah digali untuk dialirkan ke laut.
2.
Pekerjaan itu
(pada) tahun ke 22 dari Purnawarman yang berkilauan karena kebijaksanaannya (
dan )menjadi panji-panji dari raja-raja.
3.
Penggalian itu
dimulai pada para patang bulanPhalguna tangggal 8 selesai pada pare terang
bulan cetra tanggal 13,(jadi) hanya 21 hari;panjangya 6122 busur dhanu,sungai
indah Comati jernih airnya.
4.
Setelah alirannya
mencapai tempat kediaman raja-pendeta kakeknya oleh para brahmana dihadiahkan
1000 lembu.
b.
Adanya batu
bertulis di kecamatan Batujaya. Tulisannya kurang jelas, tetapi tanda-tanda
telah menunjukkan bahwa batu tersebut berasal dri pengaruh Hindu paa masa
kerajaan Tarumanegara.Batujaya menurut cerita rakyat,paa masa yang lalu
mempunyai pengaruh yang besar terhadap penduduk sekitarnya ,karena daerah itu
selalu jaya oleh hasilproduksi pasi yang belimpah-limpah,sehingga daerah itu
tidak kekurangan padi tetapi masa sekarang kepercayaan tersebut berkurang
karena produksi padi tetap,sedangkan jiwa bertambah banyak,sehingg daerah ini
sama engan daerah lainnya .Bila dilihat secara geografis maka kerajaan
TArumanegara meliputi Jakarta,Bogor dan Banten.
Dengan demikian jelaslah bahwa Bekasi
termasuk wilayah Tarumanegara yang sampai kini sisa-sisanya masih tersebar di wilayah
Bekasi
BEKASI
PADA MASA KERAJAAN PAJAJARAN
Sebelum Pajajaran berdiri dan setelah kerajaaan Tarumanegara runtuh,di
Priangan Timur berdiri sebuah kerajaan yang disebut Gluh,yang menurut babad
atau cerita pantun ibukotanya di Ciamis. Diterangkan oleh Plyete bahwa pusat
kerajaan Galuh terapat di Bojong galuh.
Menurut penyelidikan,Kerajaan Tarumanegara runtuh oleh serangan
kerajaan Sriwijaya,kira-kira pada abad ke 7-8 kemudian berdirilah kerajaan
Galuh. Mengenai perkembangan Galuh dalam sejarah belum terungkap secara
keseluruhan, hanya diterangkan bahwa di Priangan sebelah barat muncul suatu
kerajaan baru yang disebut Pajajaran.
Didalam prasasti Kebantenan yang terdapat di daerah Bekasi,disebutkan
bahwa Rahyang Ningrat Kancana adalah ayahanda Susuhunan yang memerintah di
Pakuan Pajajaran. Berdasarkan keterangan dan beberapa prasasti diterangkan
bahwa pusat kerajaan Pajajaran ialah di Bogor.
Menurut pendapat Holle, Pakuan Pajajaran berarti pohon paku yang
berjajar,sebagai dasar teorinya ialah dengan mengalirnya sungai Cipaku di
daerah bekas ibu kota kerajaan tersebut.
Menurut pendapat Prof .DR. Purbatjraka kata Pakuan berasal dari bahasa
Jawa Kuno “Kuwu” (pakuan) yang berarti tempat tinggal oleh karena itu ia
menganggap nama Pakuan ialah istana yang berjajar.
Jawa Barat pada masa kerajaan Pajajaran mengalami masa keemasan saat
diperintah oleh Prabu Siliwangi. Sampai saat ini nama Prabu Siliwangi menjadi
tutur kata masyarakat Jawa Barat baik lisan maupun tulisan.
Kota Bogor letaknya diapit oleh Ciliwung dan Cisadane,di dalam prasasti
Batutulis di Bogor disebutkan bahwa Pakuan Pajajaran didirikan oleh Sri Baduga
Maharaja.
Di atas telah diterangkan bahwa sebelum kerajaan Pajajaran berdiri
telah ada kerajaan Galuh yang letaknya di Priangan Timur, dengan demikian
Pajajaran seolah-olah sebagai lanjutan dari kerajaan Galuh, kemungkinan
kepindahan tersebut didorong oleh factor-faktor strategis-politis, karena
diterangkan oleh Drs. Amir Sutaarga dalam buku Prabu Siliwangi, adalah sebagai
berikut:
“…Pendirian Pakuan sebagai ibukota Pajajaran yang baru,berarti suatupemindahan
pisat kerajaan yang dengan sendirinya mempinayai alas an-alasan geopolitis an
militer taktis karena dari Pakuan jalan-ajalan yang ada lebih-lebih melalui
aliran sungai Ciliwung dan Cisadane,maka kota –kota pelabuhan seperti Bekasi,
Karawang Kalapa, Tangerang dan Mahanten (Banten Surasuan)dapat dikontrol secara
efektif.”
Dari kesimpulan di atas dapat dikatakan bahwa selain kepindahan ibukota
Pajajaran yang baru mempunyai alasan strategis-politis, juga Bekasi disebutkan
sebagai kota pelabuhan Pajajaran. Bila melihat hasil penemuan kepingan
kapal-kapal di daerah Rawa Tembaga dan rantai yang terdapat di Kobak Rante jelaslah
Bekasi merupakan pelabuhan yang cukup dan mempunyai peranan penting,karena
salah satu komunikasi yang sangat urgent pada masa itu adalah pelabuhan.
“…dari Pakuan Pajajaran ada sebuah jalan yang dapat melalui Ciluengsi
atau Cibarusah, Warumggede, Tanjungpura,
Karawang, Cikao, Purwakarta, Sagalaheran terus ke Sumedang, Tomo, Sindangkasih,
Rajagaluh, Talaga, Kawali dan… ke pusat kerajaan Galuh di sekitar Ciamis dan
Bojonggaluh.”
Jalur-jalur jalan tersebut di atas merupakan highway Pajajaran yang
hingga kini jalan-jalan tersebut masih dapat digunakan, malahan merupakan
jalan-jalan yang cukup baik.
Dengan demikian, daerah Bekasi baik jalan darat maupun jalan pelabuhan
merupakan daerah lalulintas menuju ibukota.
Pada masa sekarang juga, Bekasi merupakan kota lalu-lintas menuju ke
ibu kota Republik Indonesia. Oleh karena itu hukum siklus dalam sejarah Bekasi
terulang kembali. Bila dilihat peranan lalu-lintas Bekasi sejak masa Pajajaran
sampai kini merupakan daerah yang penting menuju ibu kota.
PENGARUH
AGAMA ISLAM DI BEKASI
Di dalam cerita Parahyangan diterangkan, bahwa sejak pemerintahan Prabu
Ratu Dewata, maka Pajajaran timbul
huru-hara, banyak musuh yang tiak diketahui asalnya, sehingga masa ini disebut
masa kerusuhan, karena akibat datangnya serangan Islam dibawah kepemimpinan
Faletehan.
Kedudukan Banten sangat penting bagi perdagangan, maka pelabuhan itu
diperkuatnya. Seluruh pantai utara sampai Cirebon di-Islamkan, dengan demikian
Sunda kelapa sebagai kota pelabuhan Pajajaran telah dapat direbut pada tahun
1572 dan namanya diganti menjadi Jayakarta. Tindakan ini disebabkan karena kota
tersebut akan didirikan benteng Portugis yang sudah tentu akan membayakan
Kerajaan Islam.
Pada masa itu Banten diperintah oleh Faletehan, sedangkan cirebon di
serahkan kepada puteranya yang bernama Pangeran Paserean.
Pada tahun 1552 Pangeran Paserehan wafat, Faletehan pergi ke Cirebon
untuk mengendalikan pemerintahan dan Banten diserahkan kepada puteranya lagi
yang bernama Hasanuddin.
Kedudukan Banten makin kuat sedang keadaan Demak kacau balau, maka pada
tahun 1568 Banten memutuskan hubungan dengan Demak dan Hasanuddin menjadi
Sultan yang pertama di Banten.
Pada tahun 1570 Hasanuddin wafat, lalu diganti puteranya yang bernama
Panembahan Yusup.
Pada tahun 1579 ia giat memperluas daerahnya dengan melenyapkan
kerajaan Pajajaran yang masih belum masuk Islam, sehingga jatuhlah Kerajaan
Pajajaran selaku benteng Hindu Budha yang terakhir di Jawa Barat.
Di dalam penyebaran Agama Islam ini Prof. Dr. Asikin Wijayakusumah
dalam bukunya yang berjudul sejarah Sumedang menerangkan bahwa :
“… Pada tahun 1526 Banten telah di Islamkan, kemudian Sunda Kelapa pada
tahun 1527, begitu pula Cirebon, Galuh, dan Sumedang di masuki Agama Islam
sekitar tahun 1530”.
Dengan demikian, diperkirakan antara tahun 1527 sampai tahun 1530 daerah
Bekasi dan sekitarnya telah dipengaruhi Agama Islam.
Mesjid yang tertua di Kabupaten Bekasi terdapat di Rawa Blacan desa
Pantai Sederhana, kecamatan Muara Gembong, sekarang tinggal tiang-tiangnya
saja.
Pembawa Agama Islam yang pertama di kampung Jati-kramat desa Jatibening
kecamatan Pondok Gede ialah Kyai H. Kandong keturunan dari Pangeran Sageri
Jatinegara, yang makamnya terdapat di
kampung Jatikeramat.
Di kampung Ceger, desa Jakasampurna, Kecamatan Bekasi selatan, pemuka
Agam Islam ialah R. H. Shoheh, masih keturunan Pangeran Sageri pula, sedangkan
Pangeran Sageri sendiri adalah pemuka Agama Islam di daerah Jatinegara.
Selain itu dari pemuka-pemuka tersebut diatas, banyak pula
pemuka-pemuka lainnya yang tersebar di seluruh penjuru Kabupaten Bekasi.
Agama Islam di Kabupaten Bakasi sampai kini cukup kuat, tetapi walaupun
demikian pengaruh tradisi nenek moyang tetap masih melekat. Pengaruh animisme
dan dinamisme dapat dilihat dari kehidupan masyarakat misalnya pada waktu
mengadakan kenduri atau mengadakan sesajer kepada tempat-tempat yang masih
dianggap keramat.
Bila dilihat dari segi historis memang sewajarnyalah kalau Agama Islam
di daerah bekasi cukup militan, karena pemuka agamanya adalah keturunan
Pangeran Segari.
Adapun Pangeran Segari adalah keturunan Sultan Abdul Fatah dari Banten,
yang keturunannya banyak menyebar disekitar Jatinegara (Klender).
Andaikata keturunan Pangeran Segari banyak menjadi pemuka Agama Islam I
Bekasi, tidak berarti luar dari keturunan tersebut tidak ikut mengembangkan
Agama Islam di Bekasi. Hal ini dapat dinyatakanbeberapa tempat yang
pemuka-pemukanya berasal dar daerah Priangan, Jawa Tengah, Jawa Timur dan luar
Pulau Jawa.
BEKASI
SEBAGAI DAERAH SUMEANGLARANG
Setelah Kerajaan Pajajaran runtuh sebagai akibat meluasnya pengaruh
Agama Islam, maka daerah Pajajaran walaupun sudah dibawah pengaruh Agama Islam
namun dalam segi pemerintahan kurang terbina betul-betul sehingga tidak
mustahil bila daerah ini bernama ke-vacum-an.
Dalam keadaan seperti ini, timbullah sebuah negara baru yang disebut
Kerajaan Sumedanglarang yang diperintah oleh Geusan Ulun (geusan kawulaan eun:
bahasa Sunda)
Adapun daerah Sumedanglarang meliputi :
-
Sebelah barat
berbatasan dengan Cipamugas (Cisadane), dan
-
Sebelah timur
berbatasan dengan Cipamali.
Jadi daerah Sumedanglarang ialah: Sumedang, Sukakerta, Limbangan,
Bandung, Cianjur, Cianjur dan Karawang.
Pengertian Karawang disini bukanlah merupakan daerah kabupaten Karawang
sekarang, melainkan wilayahnya meliputi Kabupaten Bekasi sekarang.
Ibu kota Sumedanglarang mula-mula di Kutamaya kemudian dipindahkan ke
Dayeuhluhur. Adapun kepindahan tersebut disebabkan Geusan Ulun selaku Raja
Sumedanglarang terdesak oleh serangan tentara Pangeran Girilaya dari Cirebon.
Dan penyerangan ini disebabkan Pangeran Geusan Ulun melarikan istri
Pangeran Girilaya yang bernama Hariabaya (turunan madura).
Sejak itulah ibu kota Sumedanglarang pindah ke Dayeuluhur.
Geusan Ulun memerintah di Sumedanglarang selama 28 tahun yaitu antara
tahun 1580 sampai tahun 1608.
Pemerintahan Sumedanglarang setelah Geusan Ulun meninggal dunia
dilanjutkan oleh Aria Saruidiwangsa, yaitu putera tiri Geusan Ulun dari
istrinya yang bernama Hariabaya.
Pada masa ia memerintah, mataram mulai meluaskan kekuasaannya sampai
Jawa Barat.
Waktu Mataram diperintah oleh Seda Krapyak, Keerajaan Cirebon dianggap
sederajat dengan Mataram tetapi setelah Seda Krapyak meninggal dunia dan
diganti oleh Sultan Agung, maka Cirebon dikalahkan sehingga menjadi daerah
kekuasaan Mataram.
Pangeran Aria Suriadiwangsa dari Sumedanglarang milihat kekuasaaan
Mataram makin lama makin kuat dan terus meluas, juga melihat pribadi Sultan
Agung begitu berwibawa, maka pada tahun 1620 ia pergi ke Mataram, bermaksud
tiada lain untuk menyerahkan Sumedanglarang di bawah naungan Mataram. Dengan
demikian sejak itu Sumedanglarang terkenal dengan nama “PRIYANGAN”, artinya
berserah diri dengan hati yang suci.
Kemudian Raden Aria Suriadiwangsa diberi julukan Pangeran Dipati Rangga
Gempol Kusumadinata oleh Sultan Agung dan diangkat menjadi Bupati Wedana
(Gubernur sekarang) untuk Tanah Sunda, yang dimaksud adalah Sumedanglarang.
Oleh karena Sumedanglarang dibawah naungan kekuasan Mataram, maka
secara praktis Karawang (termasuk Bekasi sekarang) merupakan kekuasaan Mataram.
Waktu Rangga Gempol I menjadi Bupati Wedana di Tanah Sunda, pada tahun
1624 Mataram memohon bantuan kepadanya untuk menaklukan Sampang (Madura),
karena menurut pendapat Sultan Agung ia masih keturunan Madura dari ibunya yang
bernama Hariabaya.
Waktu Rannga Gempol pergi ke Sampang, pemerintahan di wakilkan pada
Rangga Gede, yaitu putera Geusan Ulun dari Nyimas Gedeng Waru.
Dengan menggunakan taktik persaudaraan akhirnya Rangga Gempol I dapat
menaklukkan Sampang dibawah kekuasaan Mataram.
Setelah tugas dari Mataram selesai, maka Rangga Gempol kembali ke
Sumedang, tetapi karena adanya aduan dari Adipati Wangsanata kepada Sultan
Agung, maka Rangga Gemol dipanggil ke Mataram, kemudian dibunuh.
Adapun latar belakang hasutan dari Adipati Wangsanata ini ialah karena
iri terhadap Rangga Gempol.
Setelah Rangga Gempol I meninggal dunia, maka pemerintahan digantikan
Rangga Gede.
Bekasi Selaku aerah
Sumedanglarang Atau Mataram Terbukti dari Petilasan-petilasan Yang Berupa :
1. Makam Pangeran Rangga yang terdapat di Kranggan Wetan
desa Jatisampurna Kecamatan Pondok Gede. Menurut keterangan dari rakyat
setempat, bahwa ia sebagai tokoh ditempat itu. Ia berasal dari Sumedang dan
kedatangannya ke daerah ini adalah untuk mempertahankan daerah Bekasi dari
seranganan musuh, yang saat itu ialah Belanda. Selain makam Pangeran Rangga
juga ditemukan kuburan kudanya, yang sampai saat kini bagi mereka yang
mempercayainya suka diziarahi. Memang kuda adalah salat satu kendaraan yang dipakai
saat itu.
2. Ditemukannya makam Wangsawijaya dan ratu Mayangsari.
Menurut keturunannya yang ketujuh Bapak Hasan yang berada di kampung
Bojongsari, desa Jatiluhur kecamatan Pondok Gede bahwa leluhurnya berasal ari
Cirebon, tugasnya berperang. Bila dilihat dari batu hidup yang terdapat dari
kedua makam tersebut memamng jelas menunjukan bahwa usia dari makam tersebut
pararel dengan masa pemerintahan Sumedanglarang.
3. Ditemukannya makam Wijayakusuma serta sumur tempat
mandinya, yang terdapat di kampung Ciketing desa Mustika Jaya Kecamatan Bantar
Gebang. Menurut penduduk setempat bahwa Wijayakusuma adalah orang yang
terkemuka masa lalu, sehingga sampai kini baik makam maupun sumurnya masih suka
diziarahi oleh mereka yang mempercayainya. Bila dilihat dari kondisi serta
batu-batu yang ada disekitarnya, memang telah menunjukan bahwa sumurnya semasa
dengan pemerintahan Sumedanglarang.
4. Diketemukannya rantai kapal di Kobakrante Desa Suka
Makmur, Kecamatan Sukatani. Menurut keterangan H. Aliyudin (Alm.) bahwa daerah
Kobakrante asalnya sungai (pinggiran laut) karena dangkal sehingga kapal itu
terdampar, yang sisanya hanya rantainya saja. Adapun kapal yang terdampar itu
adalah kapal Terongpeot dari Sumedang yang sedang mengadakan patroli ke daerah
pantai. Dengan demikian Bekasi selaku daerah Sumedanglarang selalu diawasi
karena daeranya berbatasan dengan Belanda.
5. Diketemukannya makam Soemantri (Santri) yang terletak
dikampung Gedung Cinde, Pantai Bakti Kecamatan Cabangbungin. Menurut keterangan
ia berasal dari Sumedang dan maksudnya datang kedaerah Bekasi berperang melawan
V.O.C dan membuka perkampungan yang pertama ditempat tersebut.
Dengan demikian bukti-bukti tersebut di atas jelaslah
bahwa ekspedisi Sumedanglarang (Mataram) datang ke Bekasi untuk melindungi daerahnya.
BEKASI DIANTARA KEKUASAAN MATARAM,
BANTEN DAN V.O.C.
Letak Bekasi yang diapit oleh ketiga kekuasaan ialah
Mataram, Banten dan V.O.C. serta bila dilihat dari geografisnya memang
mempunyai tempat yang sangat setrategis, karena apabila daerah ini dikuasai
maka dengan sendirinya akan terbuka dengan daerah lainnya.
Diantara ketiga kekuasaan tersebut diatas yang menjadi
titik saingan satu dengan yang lainnya adalah terletak pada faktor sosial, ekonomi, dan politik.
Akibatnya satu dengan yang lainnya selalu waspada dan mengatur siasat bagaimana
caranya agar dapat mengalahkan musuh.
Daerah Bekasi bagian selatan berbatasan dengan daerah
Banten sedang bagian barat berbatasan dengan V.O.C. dengan demikian setiap
jengkal tanah Bekasi harus dipertahankan Mataram.
Setelah Jayakarta direbut oleh V.O.C. dan diberi nama Batavia sejak 30 mei 1619,
maka Mataram cepat-cepat ingin merebut Batavia karena masa itu bandar Jakarta
(sekitar teluk Jakarta yaitu pasar ikan) kurang penting, pedagang-pedagang
bansa Indonesia lebih senang berdagang di bandar-bandar Banten, atau Mataram
dari pada ke V.O.C.
Tetapi setelah V.O.C menguasai perdagangan
rempah-rempah maka Batavia mempunyai peranan penting.
Sultan Agung tidak senang melihat V.O.C. berkuasa
terus di Batavia, maka pada tahun 1628 berangkatlah tentara Mataram ke Batavia
dengan pimpinan Baurekso. Tentara Mataram waktu itu dibantu oleh pasukan Sunda
yang dikepalai oleh Dipati Ukur. Tentara Mataram yang kedua dikepalia oleh
Tumenggung Suro Agul-agul. Kini Adipati Mandurareja dan Dipati Uposento.
Perahu-perahu Mataram yang memuat beras, ternak serta
peralatan lainnya berlabuh di pelabuhan Batavia.
Tentara Mataram menyerang dengan gigih, tetapi tentara
pimpinan Baurekso kalah bahkan Baurekso sendiri tewas. Kemudian disusul lagi
dengan tentara yang kedua karena gudang makanan dibakar oleh V.O.C. sehingga
tentara Mataram kekurangan beras, maka penyerangan Matram gagal.
Bekasi selaku daerah Mataram dalam rangka penyerangan
itu, maka daerah sekitar Tambun, Pekopen (tempat ngopi tentara mataram) daerah
desa Mustika Jaya serta daerah pantai utara adalah tempat-tempat persiapan
tentara Mataram.
Di dekat pasar Tambun terdapat makam mbah Nakal yang
menurut keterangan adalah termasuk pimpinan tentara Mataram dari jawa pada masa
Sultan Agung menyerang Batavia.
Menurut keterangan bapak Madi dan bapak hanapiah dari
Tambun, alat-alat perang masa Sultan Agung hingga kini masih ada yaitu
berbentuk golok ujung turun dan keris luk lima. Selain alat tersebut diatas
masih banyak lagi alat-alat lainnya yang tersebar di daerah Bekasi.
Kesenian rakyat sebagai peninggalan dari Mataram ialah
Ujungan. Melihat dari gerakan-gerakannya dapat melambangkan ketangkasan,
keberanian dan keuletan, sehingga dengan ujungan itu dapatlah kita yakini bahwa
tentara-tentara Mataram itu cukup tangkas dan gagah berani.
Dilihat dari segi bahasa maka Bekasi mempunyai bahasa
yang termasuk komplek karena pengaruh dari Jawa, Sunda, Banten dan Jakarta hingga
kini daerah-daerah kedudukan suku-suku itu masih nampak, hal ini tergantung
pada tempat-tempat merka tingal semula.
Dengan demikian wajarlah apabila kebudayaan Bekasi
mempunyai corak tersendiri karena bila dilihat dari segi historisnya memang
sangat komplek sekali.
Sebagai warisan para leluhurnya, masyarakat Bekasi
mempunyai sifat-sifat yang negatif tetapi banyak juga sifat-sifat positifnya
misalnya berani, satria, demokratis, militan, toleransi dan sebagainya sehingga
walaupun masyarakatnya heterogen tetapi tetap rukun.
PERANG MATARAM DENGAN BANTEN
Terdahulu sudah dijelaskan bahwa setelah raden rangga
Gempol I meninggal dunia maka sebagai gantinya adalah Rangga Gede. Pengangkatan
ini menimbulkan sakit hati Rangga Gempol II seakan-akan Sultan Agung tidak
bijaksana. Kemudian ia meminta tolong kepada Sultan Banten.
Setibanya di Banten Rangga Gempol II disambut baik
karena pada masa ituBanten dan Mataram sedang bersaingan baik polituk maupun
ekonomi.
Selanjutnya Rangga Gempol II berjanjji kepada Sultan
Banten apabila sumedang dapat dikuasai, maka tanah Priangan akan dimasukan
dalam wilayah kekuasaan Banten.
Setelah sepakat keduanya untuk mengalahkan Rangga Gede,
maka Sultan banten mengirimkan pasukannya kesepanjang sungai Citarum, tentu hal
ini mencurigakan pihak Mataram.
Sebagai tindakan berikutnya, sultan mengirinkan
pasukannya ke daerah karawang, juga termasuk daerah Bekasi (karena Karawang
dulu maksudnya sampai ke Cipamangkis) dibawah pimpinan Aria Surengrono dari
Wirasaba.
Perjalanan dari Mataram menuju jalan utara ialah
melalui Tegal, Brebes, Cirebon, Indramayu, Ciasem sampailah kedaerah Karawang.
Menurut dugaan Aria Wirasaba tentu tentara Banten kuat
sekali sedangkan keadaan fisik tentara Mataram sudah lemah akibat perjalanan
yang begitu jauh. Untuk mengusir tentara Banten rupanya Aria Surengrono tidak
sanggup lagi.
Selanjutnya dia beserta pasukannya mendirikan
perkumpulan di Waringinpitu, Parakansapi, dan Adiarsa. Ketiga tempat tersebut
tidak jauh dari Udug-udug (Kecamatan Telukjambe Karawang sekarang).
Karena Aria Surengrono tidak mengadakan perlawanan
terhadap tentara Banten yang dipimpin oleh Pangeran Pager Agung maka Sultan
Agung mengirimkan lagi pasukannya yang kedua dibawah pimpinan Adipati Kertabumi
III dari Galuh yang membawa pasukan dari orang-orang Sunda.
Adipati Kertabumi III berangkat dari Galuh menuju
Udug-udug, sesampainya disana berperanglah tentara Mataram dengan Banten.
Perlu diketahui bahwa tentara Banten memang sebagian
besar di Udug-udug tetapi ada juga yang menyebar ke daerah lain, misalnya
Cibeureum (Pangkalan Karawang sekarang), Cibeureum (Kecamatan Tambun Bekasi)
dan lain-lainnya.
Pada waktu terjadi perang, kedua belah pihak berjuang
dengangigih dan akibat perang tersebut banyak darah yang mengalir, sehingga
tempat yang dipakai untuk perang itu berwarna merah akibat darah yang mengalir.
Selanjut tempat tersebut diberi nama “CIBEUREUM” (beureum arinya merah-Sunda).
Dalam perang itu pimpinan tentara Banten yaitu
Pangeran Pager Agung tewas, kepalanya dipenggal sehingga di Udug-udug terkenal
makam jangga artinya makam tanpa kepala.
Setelah perang selesai, Adipati Kertabumi III pergi ke
Mataram untuk memberikan laporan. Sesampainya di Mataram Adipati Kertabumi III
diberi hadiah oleh Sultan Agung sebuah keris bernama KERIS KAROSENJANG.
Kemudian setelah menerima hadiah, Adipati Kertabumi III kembali lagi ketempat
asalnya yaitu Galuh.
Untuk sementara yang menguasai Karawang diserahkan
kepada saudaranya yang bernama Dalem Kaduruan Tambakbaya, juga ia diberi tugas
oleh Adipati Kertabumi III mencari taman yang setrategis untuk dijadikan ibu
kota pemerintahan.
Tidak lama setelah Adipati Kertabumi sampai di Galuh, ia
meninggal dunia. Kemudian Sultan Agung mengutus putera Adipati Kertabumi III
yaitu Adipati Kertabumi IV (Singaberbangsa) memerintah di Karawang.
Adapun surat pengangkatan untuk menjadi Wedana (Bupati
sekarang) berbunyi sebagai berikut :
“Panget ingkang piagam Kangjeng ing Ki Rangga Gede ing
Sumedang kagadekaken ing Astrawadana Milane Sun Gadehi piagam. Sun kongkon
anggraksa kagengan Dalem. Siti Negara Agung. Kilen wates Cipamingkis, wetan
watas Cilamaya, airta Sun kon anunggoni lumbung pari limang takes punjul tiga
welas jait, Wedening pari sinambut dening Ki Singperbangsa. Basakala tan angrawahi piagam lagi lampahing kiai
Judabangsa kaping kalih Ki Wangsataruna. Ingkang petusan Kangjeng Dalem ambakta
tata titi yang kalih ewu; wadana nipun Kiai Singaberbangsa kalih Ki Wirasaba
kangdipun-wadanakaken ing manira. Sasangpun katampi dipun prenahaken ing
Waringin pitu lan ing Tanjungpura. Angraksa Siti Gung Bungas kilen. Kala nulis
piagam ing dina Rebo tanggal ping sapuluh sasi mulud tahun Alip, Kang anulis
piagam manira Anggaprana Titi.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia adalah :
“Peringatan piagam raja kepada Ki Rangga Gede di
Sumedang diserahkan kepada Ki Astrawadana. Sebabnya maka saya serahi piagam
ialah karena saya berikan tugas menjaga tanah Negara Agung milik raja. Di
sebelah barat berbatas Cipamingkis, di sebelah timur berbatas Cilamaya, serta
saya tugaskan menunggu lumbung berisi padi lima takes lebih tiga belas jait. Adapaun
padi tersebut diterima oleh Ki Singaberbangsa. Basakalatan yang menyaksikan
piagam dan lagi Kiai Judabangsa dan ke Ki Wangsataruna yang diutus oleh raja
untuk pergi dengan membawa 2000 orang Pemimpimnya adalah Kiai Singaberbangsa
serta Wirasaba, merekalah yang saya jadikan sesepuhnya. Sesudah piagam diterima
mereka di tempatkan di Waringinpitu dan Tanjungpura. Tugasnya adalah menjaga
tanah Agung disebelah barat. Piagam ini ditulis pada hari Rabu, tanggal 10
Mulud tahun Alip. Yang menulis piagam ini adalah saya : Anggaprana, Selesai”.
Ibu kota pemerintah yang setrategis ialah sekitar
Nagasari (Karawang).
Orang-orang Banten yang takluk pada Mataram membuat
perkampungan (babakan) sehingga baik di
daerah Karawang maupun Bekasi terdapat “Kampung Babakan” dimana orang-orang
Banten berumah tangga di tempat itu.
Sultan Agung setelah mengalahkan Banten dari daerah
Karawang, maksudnya daerah Karawang (termasuk Bekasi) akan dijadikan lumbung
beras, mengingat waktu perang terhadap V.O.C. (tahun 1629) mengalami kegagalan
akibat kekurangan bahan makanan, dengan demikian daerah ini betul-betul
dijadikan basis Mataram, bila menyerang lagi V.O.C. di Batavia.
Selanjutnya tugas masyarakat di daerah ini adalah
mengangkat senjata dimasa perang dan mencangkul dimasa damai.
Sebagai bukti bahwa di kampung Kelapa Dua (sebelah
utara Cileungsi dan sebelah timur Kabupaten Bekasi) adalah daerah pertanian
yang luas, maka terdapat pada piagam yang berbunyi sebagai berikut :
“Panget lajang insung Singaberbangsa, kacekel dening
Ki Astrawadana kalayan ki Wanajuda; mila Manira kacekel lajang Sawijes Manira
kang juput pari kagengan Susuhanan kang kagadeh dening Ki Rangga Sumedang
Lumbung Kelapa Duwa, kang tinunggu dening Ki Astrawadana kalih Wanajuda, Isine
kang Manira juput pari limang takes punjul tiga wetas jadi bobot, arawahe Ki
Judabangsa, Titi. Kala nulis dina jumaat, tanggal pisan, sasi Muharam tahun
Alip”.
Adapun artinya dapat disimpulkan sebagai berikut :
“Piagam ini dari Adipati Singaberbangsa untuk
Astrawadana dan Wanajuda yang menjaga persediaan padi. Padi itu harus dibawa
oleh Singaberbangsa sesampainya Judabangsa dan Wangsataruna yang diperintah
oleh Sultan.
Mengenai padi itu adalah kepunyaan Rangga Gede dari
Sumedang. Adapun gudang itu letaknya di Kelapa Dua. Waktu menulis piagam ini
pada hari jum’at, awal bulan Muharam tahun Alip”.
Bila kita teliti dari kedua piagam tersebut jelaslah
bahwa sebagian daerah Kabupaten Bekasi sekarang, dahulunya bergabung dengan
Karawang. Dan tanah pesawahan Karawang serta Bekasi dibukanya pada masa yaitu
setelah pemerintahan terbentuk pada tahun Alip, sebagaimana tercantum pada
piagam.
Menurut penyelidikan para ahli sejarah yang dimaksud
dengan tahun Alip adalah tahun 1633 Masehi, hal ini sesuai dengan laporan
Julianan de Silva pada tanggal 2 juli 1614 kepada pemerintah Belanda di Batavia
yang menerangkan bahwa : paa masa itu telah menetap 2000 orang Jawa yang
dipimpin oleh Judakarti atas perintah dari mataram. Mereka sedang mengerjakan
sawah laang, menanam padi dan lada.
Pada saat kunjungan Juliana de Silva mereka juga
sedang mengerjakan pekerjaan tersebut dan telah menyelesaikan sebanyak 17
lumbung yang punah berisi paadi. Lumbung-lumbung terdebit merupakan rumah-rumah
besar serta panjangnya 10-12 depa dan lebarnya 2 depa. Dari kesimpulan tersebut
dapat dikatakan bahwa sebelum tahun 1641 memang sudah dibuka tanah untuk
pertanian, karena itu tepatlah bila yang dimaksud tahun Alip itu adalah tahun
1633.
Adapun yang dimaksud dengan kabupaten Karawang dahulu
adalah sampai ke Cipamingkis. Dengan demikian sebutan Karawang-Bekasi pada masa
Revolosi tahu 1945 adalah merupakan Circlus dalam sejarah Karawang-Bekasi.
PENGARUH TENTARA MATARAM TERHADAP BEKASI
Bala tentara Sultan Agung yang kalah dalam perang
dengan V.O.C. sebagian dari mereka banyak yang membentuk tempat tinggal yang
baru, sehingga mereka menjadi penduduk setempat. Mereka ada yang tinggal di
daearah pantai, adapula yang tinggal di pedalaman seperti di Pekopen, di
Cibarusah, Pondok Ranggon, Tambun, dan lain-lain.
Menurut cerita rakyat, ada beberapa tempat yang mempunyai
tempat yang mempunyai riwayat dan hubungan dengan tentara Mataram, misalnya :
1. Nama Pekopen berasal dari kata pe – kopi – an,
artinya tempat ngopi, maksudnya tempat ngopi tentara Sultan Agung.
2. Nama kampung Jawa disebut demikian karena orang-orang
jawalah yang pertama kali membuka kampung tersebut, Mereka turun-tenurun sampai
anak cucunya hidup disitu hingga sekarang.
3. Pondok Ranggon merupakan tempat tentara Mataram
mengadakan perundingan-perundingan, mengatur siasat dalam menyerang musuh.
Tentara Mataram yang datang ke Bekasi itu tidak datang
dari Jawa Tengah saja, melainkan juga dari Jawa Timur, dari Jawa Barat seperti
dari Galuh, Sukapura, Sumedang, dan lain-lain. Oleh karena itu terdapat daerah-daerah
yang berbahasa Sunda, Jawa, atau campuran keduanya.
Tentara Mataram selain berpengaruh terhadap nama-nama
tempat, bahasa, mental, juga yang dominan ialah terhadap kesenian diantaranya
seperti : wayang wong, wayang kulit, calung, topeng, dan lain-lainya. Kesenian
yang melekat hingga kini ialah Ujungan, merupakan kesenian rakyat yang masih
gemari, karena kesenian tersebut selain mengundang keberanian dan ketrampilan,
juga mempunyai instrumentalia yang cukup dinamik dan harmonis, sehingga
kesenian tersebut menjiwai masyarakat Bekasi sesuai dengan jiwa patriotik para
leluhur mereka.
Pada masa kini kesenian tersebut lebih ditingkatkan
lagi mutunya sesuai dengan kemajuan zaman sehingga kekasaran dalam permainan
itu dapat ditekan, sebagai akibatnya kesenian itu lebih terbina sepanjang masa.
Kesenian yang bersifat keagamaan yang digemari oleh masyarakat Bekasi ialah
berupa Kasidahan (Gambus) dan Ketimpling. Demikianlah sepintas kilas mengenai
kesenian yang terdapat di daerah Bekasi.
PENGARUH KEKACAUAN DI MATARAM TERHADAP BEKASI
Sultan Agung selaku Raja Mataram terbesar di Pulau
Jawa, meninggal dunia pada tahun 1645 pada usia 55 tahun. Pengganti Sultan
Agung adalah puteranya yang kedua bernama Amangkurat I (Sunan Tegal Wangi). Ia
teerpilih menjadi raja, karena dia lah yang kelihatannya lebih mampu dari
saudaranya. Ibunya adalah putri Pangeran Ratu, Raja Cirebon.
Amangkurat I adalah seorang raja yang keras dan
bertindak kejam terhadap rakyatnya sebagai bukti tindaka-tindakannya yang kejam
ialah :
1. Susuhunan Tegal Wangi seorang pembenci agama, ia
berusaha mengembalikan hukum sebelum Islam, hanya rajalah yang memberikan
hukuman berat seperti hukum gantung yang pernah dilaksanakannya di Mataram.
2. Dia telah mengumpulkan 5000 sampai 6000 orang di
Alun-alun Plered, dengan secara diam-diam ia mengambil tentaranya untuk
mengepungnya. Kemudian tembakan-tembakan meriam dilepaskan sebagai tanda
penyerangan terhadap mereka. Sehingga dalam waktu yang amat singkat selasailah
pembunuhan itu. Mereka yang terbunuh itu diantaranya ialah para alim ulama yang
tidak disukainya. Dengan selesainya pembunuhan itu Amangkurat I merasa dirinya
aman untuk sementara waktu karena orang-orang yang dicurigainya telah musnah.
3. Setelah Permaisurinya yang amat dicintainya meninggal
dunia pada tahun 1667, ia membiarakan beberapa ratus rakyatnya mati kelaparan.
Ia melakukan tindakan yang demikian kaena sikapnya
aristocratis dari pada ayahnya. Ia menghendaki mutlak atas seluruh wilayahnya,
oleh karena itu kekuasaan kaum ulamapun dicoba untuk dipatahkannya. Akan tetapi
ia tidak memiliki kekuatan, kecakapan, keberanian dan kebesaran jiwa seperti
ayahnya, sehingga ia selalu merasa takut dan curiga. Dengan demikian
orang-orang yang tidak berpihak kepadanya dianggap sebagai musuh yang
membahayakan kedudukannya. Itulah sebabnya ia bertindak seperti tersebut
diatas.
Terhadap pihak
Belanda ia mengadakan hubungan baik. Hal ini sangat bertentangan dengan politik
yang telah dilakukan oleh ayahnya yaitu Sultan Agung. Hubngan baik antara
Amangkurat I ddengan pihak Belanda terlihat pada suatu kunjungan bangsa Belanda
yang diwakili oleh Rijclof van Goens dengan memberikan hadiah kepada Amangkurat
I sampai seharga £ 10.000,- (sepuluh ribu pound sterling) dan Amangkurat I,
memerintahkan kepada rakyatnya untuk memperbaiki jembatan-jembatan untuk
lalu-lintas dan menyediakan makanan untuk Kompeni. Pada saat inilah Amangkurat
I memberikan kesempatan kepada kompeni untuk bergerak lebih bebas lagi. Politik
konfrontasi yang dilakukan oleh Ayahandanya telah di khianatinya dengan jalan
melakukan politik damai terhadap kompeni.
Tanda-tanda suram bagi Mataram hari demi hari mulai
tampak, lebih-lebih setelah rakyat Mataram merasa bahwa pemerintahnya banyak
melakukan tekanan yang berat terhadap mereka, sehingga rakyat menjadi sengsara.
Rakyat belum pulih kembali mengatasi segal
kesukaran-kesukaran hidup akibat daripada peperangan pada masa Sultan Agung,
karena sawah-sawah tak dapat mereka kerjakan dengan baik ditambah dengan
kekejaman Amangkurat I, oleh sebab itu
rakyat menjadi gelisah. Cangkul dilepaskan, sawah-sawah dibiarkan, kampung
halaman di tinggalkan. Petani angkat senjata, lembing, pedang, keris semua
dihunus untuk berontak terhadap kraton. Dimana-mana timbul huru-hara,
bentrokan-bentrokan antara pasukan dengan barisan rakyat. Untuk mengatasi
keadaan Mataram, maka Amangkurat I meminta bantuan kepada kompeni.
Kompeni bersedia memberikan bantuan kepada Amangkurat
I asal sebagian wilayah Mataram diserahkan kepada Belanda sebagai upah. Menurut
Prof. Dr. Assikin Wijayakusumah dalam bukunya Babad Pasundan berpendapat bahwa
:
“Menurut perjanjian lisan antara Sunan Tegal Wangi dan
Rijcklof van Goens, tanah-tanah yang terdapat pada sebelah barat sungai Citarum
sejak tahun 1652 oleh Mataram diserahkan pada Kompeni.”
Tetapi menurut sejarah Jawa barat yang disusun oleh
Team Penerangan Umum Sejarah Jawa Barat menerangkan bahwa :
“Amangkurat I berdasarkan perjanjian 1646 minta
bantuan kepada V.O.C. Bantuan V.O.C. diperoleh setelah menandatangani
perjanjian yang sangat merugikan, antara lain bahwa :
1. Daerah Batavia diakui sebagai hak milik V.O.C. dan
Mataram melepas hak dipertuannya.
2. Batas antara Mataram dan Batavia adalah sungai
Pemanukan.
3. Pengakuan Mataram ini merupakan jaminan atas keamanan
Batavia terhadap serbuan-serbuan dari Mataram”.
Dengan demikian dapatlah ditarik kesimpulan bahwa
sejak tahun 1652 daerah Bekasi sudah termasuk wilayah kompeni, sebagai akibat
politik yang dijalankan pemerintahan Mataram dalam masa pemerintahan Amangkurat
I. dapatlah kita bayangkan betapa sedihnya kita sebagai bangsa yang merdeka kemudian
dimasukan ke wilayah Batavia sebagai daerah jajahan, akibat bangsa kita sendiri
yang kurang bertanggung jawab.
Diatas telah dikatakan bahwa akibat tindakan
Amangkurat I menimbulkan huru-hara di Mataram yang sebagai kelanjutannya
menimbulkan pemberontakan Tarunajaya.
Walaupun daerah bekasi telah masuk wilayah Batavia,
namun pada masa pemberontakan itu berpengaruh juga terhadap Bekasi karena daerah
ini berbatasan dengan Mataram. Pemberontakan Tarunajaya sangat menjiwai rakyat
Mataram dan Madura khususnya, juga rakyat indonesia pada umumnya sehingga ia
mendapat bantuan dari orang-orang Makasar yang dipimpim oleh Kraeng Galesung.
Daerah pemberontakan bukan hanya di pusat kota
pemerintahan Mataram, melainkan juga pada daerah pinggiran Mataram lainnya. Hal
ini terlihat pada daerah-daerah pantai Bekasi yaitu di daerah Blacan, Marunda
dan Muara Gembong dimana orang-orang bugis tinggal disana.
Menurut cerita rakyat di Blacan sisa-sisa masjid yang
ada sekarang oleh orang-orang Bugis, karena waktu penduduk setempat datang ke
tempat tersebut mesjid itu sudah ada.
Dapatlah kita simpulkan bahwa kedatangan orang-orang
Bugis ke daerah Bekasi adalah pada masa pemberontakan Tarunajaya di Mataram.
Sebagai akibat dari pemberontakan Tarunajaya, maka untuk menumpas pemberontakan
tersebut, Mataram kehilangan daerahnya sebelah barat sungai Citarum sampai ke
Pamanukan. Hal ini terjadi pada tanggal 28 Februari 1677. dengan demikian
daerah-daerah Karawang dan Bekasi masuk daerah Batavia.
Sekalipun Batavia telah berhasil untuk mengikat
Mataram dengan perjanjian pemberian tanah di wilayah Jawa Barat, namun tidak
berarti bahwa Batavia merasa aman dirinya, dibagian barat Jawa Barat, yaitu
kerajaan banten, mempunyai kekuatan dan pengaruh yang sangat besar, dengan demikian
Batavia merasa dirinya terancam.
Untuk melindugi dirinya, Belanda (V.O.C.) membuat
benteng-benteng. Diantaranya terdapat benteng bambu di Tanjungpura, yaitu pada
pertemuan muara Cibeet dengan sungai Citarum.
Kegunaaan benteng tersebit yaitu sebagai pos jaga
orang-orang kompeni baik untuk pengawasan segi politik dan keamanan juga dari
segi ekonomi.
BEKASI DI BAWAH KEKUASAAN V.O.C.
Sejak tahun 1705 secara de facto seluruh Jawa Barat
sudah dijadika dalam wadah V.O.C.
V.O.C. merupakan kekuasaan tunggal di Jawa Barat yang
berarti menentukan gerak politik ekonomi Jawa Barat untuk selanjutnya.
Perkembangan dan perluasan kekuasaan V.O.C. pada tahun
1705 terdiridari dari beberapa wilayah yaitu :
1. Batavia dan sekitarnya (termasuk Bekasi)
2. Sukabumi, Cianjur.
3. Priangan.
4. Banten.
Dari wilayah-wilayah tersebut di atas V.O.C. hanya
memperhatikan segi perniagaannya saja, yakni bahan-bahan apa saja yang
diperoleh dari daerah itu dan apa yang dapat dijual kepada rakyat.
Mengenai daerah Bekasi, hasil bumi yang diperoleh pada
waktu itu ialah berupa beras, kayu dan ikan.
Jadi diterangkan, bahwa Belanda telah membuat benteng
pada pertemua Cibeet dengn Citarum untuk kepentingan politik dan ekonomi. Menurut babad karawang dijelaskan bahwa
benteng tersebut dijaga 25 orang petugas V.O.C. untuk menguasai orang-orang
yang hilir mudik memakai perahu dengn membawa beras, kayu, ayam dan hasil-hasil
bumi lainnya.
Mereka yang hilir mudik itu pada umumnya adalah
orang-orang Bekasi dan Karawang. Barang-barang yang mereka bawa itu dibeli
kompeni dengan harga rendah.
Dalam membeli hasil-hasil bumi itu, kompeni
membutuhkan pula kayu-kayu yang ringan yaitu kayu jabon dan kayu karumbi yang
baik dan sangat diperlukan untuk pembuatan obat bedil (senjata).
Permintaan kompeni akan barang-barang tersebut tak ada
henti-hentinya, sehingga rakyat menjadi bosan dan kehabisan tenaga, skhirnya
pada tahun 1723 penduduk yang tinggal disepanjang sungai banyak yang pindah ke
pedalaman. Mereka sudah tidak tahan lagi atas tugas-tugas yang dibebankan oleh
kompeni.
Pada masa kompeni dipegang oleh Hendrik Swaar de Croon
daerah-daerah muara yaitu kampung Bugis, Cabang bungin dan Balubuk diserahkan
kepada seorang bernama Johanes untuk kepentingan ekonomi.
Salah satu usaha sebagai tulang punggung ekonomi
adalah lancarnya lalulintas, maka dengan mengerahkan beberapa ratus tenaga
rakyat dengan jalan kerja paksa dibuatkan jalan raya Cikarangsampai ke Tanjung
Pura. Usaha pihak Belanda untuk keamanan dan perekonomian, adalah menyewakan
tanah-tanah disebelah selatan sungai cikarang, sebelah timur sungai Cipamangkis
sampai sungai Cibeet dan Muara Gembong kepada orang-orang Belanda dan Cina.
Dengan demikian pada masa itu tanah Bekasi diberikan kepada orang-orang asing
guna kesejahteraan hidupnya, namun akibatnya rakyat Bekasi penuh penderitaan
dan pengorbanan yang tidak sedikit. Karena itu, tidaklah aneh bila sampai kini
orang-orang Cina di Bekasi masih ada yang menguasai tanah-tanah ladang yang
luas untuk keperluan guna usaha.
PATRIOTISME RAKYAT BEKASI
PADA MASA REVOLOSI PHISIK 1945-1950
Jauh atau lama sebelum
sampai kepada detik-detik proklamasi 17 Agustus 1945, rakyat Bekasi secara
aktif mengadakan persiapan-persiapan untuk menyambut datangnya sinar terang
(kemerdekaan). Rakyat tergabung dalam barisan Shuishintai yang kemudian menjadi
barisan Pelopor, sebagi bukti diantaranya berbondong-bondong sepanjang jalan
raya kurang lebih 10.000 orang bersenjata golok terhunus, bambu runcing dan
beberapa pucuk senjata api menuju Jatinegara Jakarta, tepatnya gang kelor depan
Bioskop Central, untuk memenuhi undangan pejuang-pejuang Jakarta yang pada
mulanya akan menjemput tentara PETA (Pembela Tanah Air) kemudian terus menyerbu
tangsi-tangsi tentara Dai Nippon yang berada di sekitar Jatinegara. Akan tetapi
sayang bahwa hal ini telah diketahuinya, penyerbuan gagal. PETA dan Heiho
dilucuti senjatanya. Pasukan kembali ke Bekasi. Rakyat ditempa dan di isi
jiwanya dengan latihan-latihan phisik dan latihan-latihan batin agar menjadi
kuat mentalnya sehingga menjadi barisan yang ampuh, tak gentar menghadapi
sesuatu dan hal-hal yang besar. Sewaktu-sewaktu Pejuang Menteng 31 Jakarata
(Angkatan Pemuda Indonesia) menghubungi Pejuang-pejuang Bekasi dengan mengirim
monil-mobil tertutup untuk kepentingan kegiatan disekitar Jakarta dan Tanjung
Priok, dan di waktu malam mengadakan penculikan-penculikan, merampas senjata
api, kendaraan Jepang, serta mengadakan gerakan corat-coret di tembok-tembok
toko, gedung-gedung besar-kecil dengan tulisan-tiulisan diantaranya :
“INDONESIA MERDEKA” dan pada siang harinya medatangi gudang-gudang dengan jalan
memaksa Jepang untuk memasrahkan kunci-kunci yang kemudian kunci-kunci gudang
tersebut dikumpulkan di asrama Menteng 31. Menurunkan bendera Matahari
(bola-bola merah) dari Kantor-kantor besar kecil diganti dengan Sang Dwi Warna
Merah Putih.
Hal ini dilakukan dengan jiwa patriotik, penuh
keberanian yang tinggi dan tidak luput mendapatkan tantangan. Terjadi
perkelahian-perkelahian antara tentara Jepang, menjalankan tugas dengan tak
mengenal maut. Dari hasil penyerbuan tersebut bertambahlah kekuatan
persenjataan kita. Tangsi-tangsi Polisi diserang, dikuasai dan diduduki oleh
rakyat (barisan Pelopor). Diambil alih semua kekuasan dari tangan Jepang.
Rakyat membalas dendam karena merasa dihina, disiksa, dianiaya dan dirampas
harta bendanya bahkan ada yang dibunuh secara biadab dengan samurai, dipenggal
lehernya. Rakyat miskin memakai kain gobang an karet, memakan bonggol pisang,
banyak direnggut maut di tengah perjalanan dan mati kelaparan. Betapa pedih
rasa hati diwaktu itu, main terjang dan pukul diluar perikemanusiaan. Datang
pembalasan kepada mereka (tentara Jepang -
tentara Dai Nippon). Amarah rakyat tidak tertahan lagi, mengamuk
bagaikan serigala menerkan mangsanya. Banyak tentara Dai Nippon di Bekasi
menjadi korban, berpuluh-puluh orang terbunuh, jembatan Bekasi berganti namanya
menjadi jembatan merah karena banjir darah. Api revolusi membakar udara Bekasi.
Daerah Bekasi terbakar terus, situasi panas mencekam. Kranji menjadi markas
barisan Pelopor dan dapur umum. Sebagi tanda kesanggupan dan kesiap-siapan
rakyat Bekasi pada tanggal 19 september 1945 mulai subuh sudah memenuhi jalan
raya, berbondong-bondong bersenjata bambu runcing, golok, keris dan beberapa
pucuk senjata api. Sebanyak ± 15.000 orang berjalan kaki menuju Jakarta
besama-sama rakyat daerah lainnya seperti : Jakarta, Cengkareng, Banten dan sebagainya
membanjiri lapangan IKADA (Gambir) dalam keadaan siap tempur sambil
berteriak-teriak “SEKALI MERDEKA, TETAP MERDEKA”. Bagaimanapun dihalang-halangi
tentara Dai Nippon yang pada waktu itu sudah menjadi petaklukan tentara sekutu,
namun barisan Pelopor dan ikut serta pula Gerakan Pemuda Islam Bekasi(G.B.I.B)
terus menerobos barikade-barikade Jepang, tetap berbaris masuk lapangan untuk
mendorong Bung Karno dan Bung Hatta mengumandangkan kemerdekaan
Bangsa Indonesia ke seluruh dunia. Suasana Jakarta menjadi hangat, dipenuhi
dengan barisan-barisan yang datang dari tiap penjuru, terutama barisan dari
Bekasi. Lapangan IKADA (Gambir) menjadi lautan manusia. Tidak jarang terjadi
pertempuran-pertempuran/perkelahian-perkelahian dimana tentara Jepang banyak yang
terbunuh oleh tusukan-tusukan bambu runcing, bacokan golok, tikaman keris dan
peluru. Setelah selasai, barisan-barisan dari Bekasi sebagian langsung kembali
dan sebahagian pula bemalam di asrama Menteng 31 Jakarta. Keesokan harinya baru
kembali ke Bekasi. Di jalan tidak luput dari hadangan tentara Jepang, pasukan
bertempur dengan tekad “Rawe-rawe rantas, malang-malang putung” menimbulkan
semangat yang berapi-api dan keyakina yang teguh. Untuk menjaga ketertiban dan
meningkatkan semangat juang, daya tahan dan tempur, maka dibentuk dan
disusunlah, K.N.I (Komite Nasional Indonesia) serta disusun pula organisasi
yang merupakan kesatuan-kesatuan bersenjata dengan nama B.K.R. (Badan Keamanan
Rakyat) yang kemudian ditingkatkan menjadi T.K.R. (Tentara Keamanan Rakyat),
kemudian pula menjadi T.R.I. (Tentara Republik Indonesia) pada akhirnya menjadi
T.N.I. (Tentara Nasional Indonesia). Terkenal di Bekasi dengan Batalyon V,
Resimen 6, Div. Siliwangi. Batalyon II. Disamping itu pula dibentuk ALRI
(Angkatan Laut Republik Indonesia), Batalyon 3 Pangkalan II, kemudian menjadi
Kesatuan 27 Pangkalan II yang bertempat di Kebalen, Babelan, kemudian Pangkalan
(Babakan) ke utara; pantai derah Bekasi. Berikut pula dibentuk
organisasi-organisasi angkatan bersenjata (Badan-badan Perjuangan) seperti:
B.B.R.I. (Barisan Banteng Republik Indonesia), L.R. (Laskar Rakyat), Hizbullah
Sabilillah yang kemudian digabung menjadi M.P.H.S. (Markas Pusat Hizbullah Sabilillah).
Kampung Pekayon dan Teluk Pucung menjadi tempat latihan. Untuk mengkoordinir
Badan-badan Perjuangan yang semakin lama semakin banyak karena situasi perang
Kemerdekaan, terbentuk pula diantaranya: Pesindo, PRD, KRIS dan LASJWI,
dihimpun dalam satu badan yang bernama MPDT (Markas Perjuangan Jakarta Timur)
bagi pejuang-pejuang yang dari Jakarta, dan dihimpun pula dalam Biro Perjuangan
dan kemudian MPP, (Markas Pusat Perjuangan).
Menurut catatan yang ada : pada hari kamis tanggal 25
Agustus 1945 para pejuang kita melucuti senjata tuan tanah Teluk Pucung
(Bekasi) , Ir. Tan dan pada waktu yang sama pula melucuti iring-iringan panser
wagen/truck-truck Jepang di daerah Cakung, serta merampas sebuah sedan Jepang
berikut senjatanya di Kranji. Pada hari-hari berikutnya menahan sejumlah 49
truck Jepang, senjatanya dilucuti terdiri dari : 5 pucuk senjata panjang dan
berpuluh-puluh senjata pendek (Pistol), 2 buah truck dirampas, lainnya
diperintahkan langsung ke Jakarta. Akibat dari penahanan truck dan senjata-senjata
yang dirampas di daerah Cakung itu. Sesampainya di Klender iring-iringan panser
itu di tolak oleh H. Darip Cs, dan kembali ke Jakarta. Maka kembalilah
iring-iringan panser itu dengan tangan hampa. Api peperangan semakin hari
semakin menghebat dan berkobar, kalimat takbir, Allahu Akbar, Allahu Akbar,
Allahu Akbar, berkumandang terus setiap hari dan malam.
Pada bulan September 1945 terjadi penurunan tentara
Jepang di Bekasi dari kereta api yaitu Kesatuan Kaigun (Angkatan Laut) sebanyak
112 orang. Rakyat tak tertahankan lagi dalam satu hari satu malam habis dibunuh
semua. Cakung menjadi medan juang pertempuran siang dan malam. Pada hari Jum’at
10 Oktober 1945 Pondok Gede diserang dan diduduki Belanda. Kemudian tanggal 12
Oktober 1945 terjadi pertempuran yang terkenal dengan pertempuran Bulakcabe
(Pondok Gede),tidak sedikit jatuh korban